Senin, 13 Agustus 2012

MAKNA DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM


Asal kata demokrasi adalah “demos”, sebuah kosa kata Yunani berarti masyarakat, dan “kratio” atau “krato” yang dalam bahasa Yunani berarti pemerintahan. Istilah demokrasi, sebagaimana halnya istilah sosial-politik lainnya, tidak memiliki definisi stabil. Mayoritas definisi demokrasi berhubungan dengan prinsip pemikirannya.Pertama kali, istilah ini digunakan sekitar lima abad sebelum Masehi. Sampai masa renaissance, istilah ini digunakan untuk suatu sistem demokrasi langsung, yakni masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif, ekskutif, yudikatif dan sebagainya. 
Prinsip demokrasi terdiri dari relativisme, legitimasi kontrak sosial, kesejajaran, dan kebebasan. Secara praktis, demokrasi tampil dengan beragam institusi yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain, seperti hak suara, hak perwakilan, badan perundang-undangan, badan penerapan, dan pemilihan umum presiden secara langsung. Di beberapa tempat, demokrasi praktis menekankan kemandirian yudikatif dan partisipasi sosial politik masyarakat.


Islam sebagai agama sempurna memiliki sikap jelas terhadap masing-masing dari prinsip atau institusi demokrasi tersebut. Bagi Islam, secara umum demokrasi adalah konsepsi ambigu yang bisa berarti positif dan negatif. Setelah mengkaji prinsip demokrasi, akan menjadi jelas sikap Islam terhadap institusi yang digunakan sistem-sistem demokratis tersebut. Salah satu institusi yang akan kita bahas adalah hak suara. Islam tidak menerima legitimasi legislatif yang murni berdasarkan suara mayoritas suara (yaitu 50%+1). Ini adalah konsep yang mudah ditolak secara totologis. Kita mengetahui bahwa di dalam Islam otoritas legislasi terbatas hanya pada Allah SWT dan orang yang diizinkan-Nya dengan standar taqwa. Akan tetapi, Islam menghargainya selama hal itu tidak keluar dari kerangka Islam dan berlaku dalam “tempat kosong”, peluang yang diberikan pada manusia untuk berkereasi. Dalam Islam, tempat kosong itu biasanya disebut mubahat atau mahallul firagh. Dalam Islam, terkadang penggunaan hak suara bahkan merupakan tugas wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat apabila hak suara tersebut bisa menjadi penguat dan penjaga pemerintahan Islam sebagaimana yang diserukan Imam Khomeini di Iran. Islam juga menerima hak perwakilan ketika setiap manusia sejajar dalam hak dipilih untuk menjadi wakil rakyat. Hanya saja, ada tolok ukur keutamaan yang harus dipegang yaitu takwa. Parlemen juga diterima oleh Islam, tapi dengan dua syarat. Pertama, undang-undang yang dikeluarkannya harus sejalan dengan Islam. Kedua, anggota parlemen harus konsekuen dengan agama Islam.

Begitu pula dengan pemilihan umum presiden. Islam bisa menerimanya bahkan bisa menjadi tugas setiap warga negara muslim apabila itu merupakan faktor kesinambungan pemerintahan Islam. Sebagaimana mendirikan pemerintahan Islam adalah kewajiban setiap muslim, menjaga pemerintahan yang sudah berdiri pun menjadi kewajiban mereka. Tentu saja syarat-syarat seorang untuk menjadi presiden harus diperhatikan, khususnya berkaitan dengan komitmen agamanya.

Satu hal yang tetap harus diingat adalah, berdasarkan pembahasan yang telah lalu, pada hakikatnya pemilu tidak melegitimasi presiden. Pemilihan presiden oleh rakyat hanya menunjukkan dukungan (bai’at) mereka terhadap realisasi pemerintahan islam yang dipimpin oleh pilihan khusus Tuhan secara langsung atau pilihan umum secara tidak langsung.
Adapun judikasi, perhatian Islam kepadanya sulit dicari pada pemikiran lain. Dalam prinsip-prinsip Islam, secara tegas disebutkan tentang pengadilan yang dilarang memihak dan tidak boleh terpengaruh oleh tekanan politik atau lainnya yang akan menjauhkanya dari kebijakasanaan yang benar. Juga ditegaskan tentang tidak boleh adanya campur tangan hakim di luar kerangka hukum dalam setiap keputusannya.

Satu hal lagi yang seringkali disalahgunakan demokrasi adalah masalah legalitas undang-undang yang dihasilkan oleh para wakil pilihan rakyat. Islam tidak menerima semua undang-undang sebagai hal yang yang legal untuk ditaati. Hanya undang-undang yang adil dan benar saja yang berhak memerintah. Buktinya, semua nabi dan imam datang untuk menegakkannya di saat mereka sendiri tunduk di bawah otoritasnya. Itu semua menunjukkan bahwa undang-undang yang adil membawahkan semua orang, tidak terbatas pada sebagian saja. Oleh karena itu, di dalam pemerintahan Islam tidak ada produk konstitusi yang legal untuk ditaati selain undang-undang yang adil dan benar.