Asal kata demokrasi adalah “demos”, sebuah kosa kata Yunani
berarti masyarakat, dan “kratio” atau “krato” yang dalam bahasa Yunani berarti
pemerintahan. Istilah demokrasi, sebagaimana halnya istilah sosial-politik
lainnya, tidak memiliki definisi stabil. Mayoritas definisi demokrasi
berhubungan dengan prinsip pemikirannya.Pertama kali, istilah ini digunakan sekitar lima abad
sebelum Masehi. Sampai masa renaissance, istilah ini digunakan untuk suatu
sistem demokrasi langsung, yakni masyarakat secara langsung menempati posisi
pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif,
ekskutif, yudikatif dan sebagainya.
Prinsip demokrasi terdiri dari relativisme, legitimasi
kontrak sosial, kesejajaran, dan kebebasan. Secara praktis, demokrasi tampil
dengan beragam institusi yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain, seperti
hak suara, hak perwakilan, badan perundang-undangan, badan penerapan, dan
pemilihan umum presiden secara langsung. Di beberapa tempat, demokrasi praktis
menekankan kemandirian yudikatif dan partisipasi sosial politik masyarakat.
Islam sebagai agama sempurna memiliki sikap jelas terhadap
masing-masing dari prinsip atau institusi demokrasi tersebut. Bagi Islam,
secara umum demokrasi adalah konsepsi ambigu yang bisa berarti positif dan
negatif. Setelah mengkaji prinsip demokrasi,
akan menjadi jelas sikap Islam terhadap institusi yang digunakan sistem-sistem
demokratis tersebut. Salah satu institusi yang akan kita bahas adalah hak
suara. Islam tidak menerima legitimasi legislatif yang murni berdasarkan suara
mayoritas suara (yaitu 50%+1). Ini adalah konsep yang mudah ditolak secara
totologis. Kita mengetahui bahwa di dalam Islam
otoritas legislasi terbatas hanya pada Allah SWT dan orang yang diizinkan-Nya
dengan standar taqwa. Akan tetapi, Islam menghargainya selama hal itu tidak
keluar dari kerangka Islam dan berlaku dalam “tempat kosong”, peluang yang
diberikan pada manusia untuk berkereasi. Dalam Islam, tempat kosong itu
biasanya disebut mubahat atau mahallul firagh. Dalam Islam, terkadang
penggunaan hak suara bahkan merupakan tugas wajib bagi setiap muslim yang
memenuhi syarat apabila hak suara tersebut bisa menjadi penguat dan penjaga
pemerintahan Islam sebagaimana yang diserukan Imam Khomeini di Iran. Islam juga menerima hak perwakilan
ketika setiap manusia sejajar dalam hak dipilih untuk menjadi wakil rakyat.
Hanya saja, ada tolok ukur keutamaan yang harus dipegang yaitu takwa. Parlemen
juga diterima oleh Islam, tapi dengan dua syarat. Pertama, undang-undang yang
dikeluarkannya harus sejalan dengan Islam. Kedua, anggota parlemen harus
konsekuen dengan agama Islam.
Begitu pula dengan pemilihan umum presiden. Islam bisa
menerimanya bahkan bisa menjadi tugas setiap warga negara muslim apabila itu
merupakan faktor kesinambungan pemerintahan Islam. Sebagaimana mendirikan
pemerintahan Islam adalah kewajiban setiap muslim, menjaga pemerintahan yang
sudah berdiri pun menjadi kewajiban mereka. Tentu saja syarat-syarat seorang
untuk menjadi presiden harus diperhatikan, khususnya berkaitan dengan komitmen
agamanya.
Satu hal yang tetap harus diingat adalah, berdasarkan
pembahasan yang telah lalu, pada hakikatnya pemilu tidak melegitimasi presiden.
Pemilihan presiden oleh rakyat hanya menunjukkan dukungan (bai’at) mereka
terhadap realisasi pemerintahan islam yang dipimpin oleh pilihan khusus Tuhan
secara langsung atau pilihan umum secara tidak langsung.
Adapun judikasi, perhatian Islam kepadanya sulit dicari pada pemikiran lain. Dalam prinsip-prinsip Islam, secara tegas disebutkan tentang pengadilan yang dilarang memihak dan tidak boleh terpengaruh oleh tekanan politik atau lainnya yang akan menjauhkanya dari kebijakasanaan yang benar. Juga ditegaskan tentang tidak boleh adanya campur tangan hakim di luar kerangka hukum dalam setiap keputusannya.
Adapun judikasi, perhatian Islam kepadanya sulit dicari pada pemikiran lain. Dalam prinsip-prinsip Islam, secara tegas disebutkan tentang pengadilan yang dilarang memihak dan tidak boleh terpengaruh oleh tekanan politik atau lainnya yang akan menjauhkanya dari kebijakasanaan yang benar. Juga ditegaskan tentang tidak boleh adanya campur tangan hakim di luar kerangka hukum dalam setiap keputusannya.
Satu hal lagi yang seringkali disalahgunakan demokrasi
adalah masalah legalitas undang-undang yang dihasilkan oleh para wakil pilihan
rakyat. Islam tidak menerima semua undang-undang sebagai hal yang yang legal
untuk ditaati. Hanya undang-undang yang adil dan benar saja yang berhak
memerintah. Buktinya, semua nabi dan imam datang untuk menegakkannya di saat
mereka sendiri tunduk di bawah otoritasnya. Itu semua menunjukkan bahwa
undang-undang yang adil membawahkan semua orang, tidak terbatas pada sebagian
saja. Oleh karena itu, di dalam pemerintahan Islam tidak ada produk konstitusi
yang legal untuk ditaati selain undang-undang yang adil dan benar.